ceritanya rani

Small Talk: Quality over Quantity

February 15, 2019


Yehaaw!

Apa kabar? Semoga kamu yang lagi baca kabarnya baik-baik aja dan dalam keadaan bahagia sentosa!amiin. Akhir-akhir ini ada berbagai hal yang masuk ke dalam pikiranku, dan rasanya gatau kenapa sangat mengganggu. Kalau aku liat di socmed gejala-gejala yang aku lagi hadapi ini ya yang banyak disebut sebagai quarter life crisis. Kayak ya lagi banyak masalah, pikiran dan hal-hal yang terlalu dilema gitu deh, itu sih pemahamanku wkwk walaupun sebenernya aku gatau pasti makna riil dari ujaran itu apa, tapi ya yaudah. Intinyaaa, kali ini aku mau bahas salahsatu keadaan yang ada disekitarku yang orang-orang banyak klasifikasikan sebagai bagian dari ya yang itu tadi, quarter life crisis.

Banyak orang bilang, makin dewasa orang akan semakin kecil lingkup pergaulannya, namun bakalan lebih hangat kedekatannya. Aku awalnya gak mikir gitu sih, ya temenan ya temenan aja, makin dewasa aturan makin banyak kenalan, memperluas kekeluargaan, semakin merasa dicintai orang-orang dan buka kesempatan berkembang baru dan ya makin menjadi “orang” lah gitu, tapi ternyata aku ini masih bocah dan terlalu idealis wkwk belum paham makna dari yang banyak orang bilang itu. Sampai akhirnya sekarang aku paham.

Beberapa bulan yang lalu, aku masih aku yang...aku?? wkwk yang masih sibuk di kampus dan ketemu banyak orang, yang gapernah ngerasa sepi dan gak terlalu peduliin kualitas pertemanan. Karena..aku selalu ngerasa khawatir untuk benar-benar ngebuka diri aku dan nunjukkin yang aslinya aku tuh bagaimana ke oranglain, jadi ya banyak orang yang kutemani tapi ya hanya teman aja gitu. Terus kemudian ada seorang teman yang bilang “Ran, aku udah gaada siapa-siapa. Aku gapunya temen lagi” serem banget gak, kemudian dilanjutin dengan sejumlah kata-kata pelengkap yang memperkeruh keadaan yang dia ceritain.

Pas itu, aku diem aja, karena dalem hati “yakali..lu nya aja kali yang gitu? masa gaada temen sama sekali? gamungkin!”. Aku kalo inget saat itu bener-bener langsung bersyukur, karena ternyata sampe di saat itu aku masih punya banyak orang yang ada di sekitar aku, peduli sama aku dan sayang banget sama aku, sampe-sampe aku bisa mikir begitu saat dihadapkan dengan orang yang bicara demikian. Kayak, i should be more thankful.

Seiring berjalannya waktu, dengan sejumlah situasi yang aku hadapi, masalah, ujian, jatuh, bangun, berjuang, bahagia dan tawa yang aku jalanin, tanpa aku sadari aku mulai bersikap sebagai aku yang aslinya aku. Dalam keadaan bawah sadarku, aku cenderung mendekatkan diri ke orang-orang yang bener-bener berharga untuk aku, yang aku pedulikan dan peduli aku, yang selalu aku prioritaskan dan juga memprioritaskan aku. Begitu juga sebaliknya, dan aku ngerasa lebih tegas aja dengan teritorial yang aku punya sekarang.

Sebenernya ini bukan hal yang aku maksudkan terjadi juga. Tapi tanpa disadari karena semakin berbedanya tujuan dan pilihan hidup, berbagai kenyataan hidup yang di luar ekspektasi dan sejumlah hal yang seperti nguji, siapa yang sebenernya ada sama kita. Ngebuat kita jadi bertahan dengan orang-orang yang tetap ada tersebut. Ya walaupun sebenernya cuma diri kita sendiri yang bener-bener tersisa. Hanya aja, Tuhan baik banget kasihkan sejumlah orang disekitar kita yang rasanya sangaat berharga, dan seperti tumpuan hidup kita.

Sepi ya ternyata? Kalau bisa balik ke beberapa bulan yang lalu dan diminta untuk sebutin orang-orang yang dekat ada di sekitarku rasanya jari tangan kaki gak cukup, tapi sekarang rasanya “siapa lagi ya? segini aja gitu?”. Bukan berarti aku udah gak sayang, peduli dan mengasihi semua orang yang ada di dalam pergaulanku, hanya aja diantara semua yang aku kasihi, sekarang ada sejumlah “priority list” yang punya ruang lebih besar di diri aku.

Sedih gitu? Hmm kadang-kadang sedih juga dengan mengecilnya lingkup ini, karena yang melakukan minimizing circle bukan aku aja, tapi semua orang, jadi kadang ada kalanya aku merasa, aku dibuang. Tapi disisi lain, rasanya lebih nyaman dan tenang aja, karena dengan mereka yang ada, kerasa lebih bareng dalam setiap kondisi aja. Lebih....tentrem gitu karena ada yang bisa diandalkan dan yang aku tau bisa kupercaya, yaitu para manusia-manusia di “priority list” ku.

Kalau aku inget lagi omongan temanku beberapa bulan lalu itu, dan kalau aja yang dihadapkan dia adalah aku yang aku yang sudah paham ini, mungkin aku gaakan hanya diam pas dia cerita itu, apalagi sampe mikir kayak yang sebelumnya..kayaknya reaksiku bakal beda. Mungkin aku bisa lebih paham dan bisa merasakan yang dia maksud, saat semua orang sibuk mengejar apa yang menjadi tujuan mereka masing-masing, saat semua orang berpacu dengan pencapaian diri, dan disini aku tanpa dukungan siapa-siapa, dan aku harus tetap bertahan. Maka tindakan untuk bicara demikian ke oranglain, sangatlah berani.

Kalau aku yang aku yang sudah paham seperti hari ini, kembali dihadapkan dengan yang demikian, aku bakal ngerasa sangat berharga, sampai oranglain bisa mengadu perasaannya yang sedang carut tersebut. Dan, mungkin aku akan bilang “kamu harus tau kalau kamu gak benar-benar sendiri, sadari mereka yang selalu ada, yang selalu kamu prioritaskan. rangkul lebih erat mereka, perjuangkan mereka, kasihi mereka. Ini bukan tentang jumlah, tapi tentang kualitas yang mampu dijaga”.

Popular Posts

Instagram